Minggu, 28 Oktober 2012

hubungan maqashid as-syar'iyyah dengan metode ijtihad lainnya


BAB I
PEMBAHASAN

A.  MENGENAL MASLAHAH, MAQASHID AS-SYAR’IYYAH  DAN  IJTIHAD

Sebelum kita membahas maqashid as-syar’iyyah kita akan membahas maslahah terlebih dahulu.
Maslahah dalam bahasa arab merupakan derivasi ( turunan kata) dari akar kata shalah yang mengandung makna bermanfaat.
Menurut at-Thahir Ibn ‘Asyur maslahah adalah nilai dalam perilaku yang dapat membawa kemanfaatan baik selamanya ataupun umumnya, untuk mayoritas manusia atau individu.[1]
Sedangkan menurut al-Ghazaly maslahah adalah menjaga maqashid as- syar’iyyah ( tujuan utama syari’at) yang lima yaitu melindungi agama ( hifdh ad- din), melindungi jiwa dan keselamatan fisik ( hifdh an- nafs), melindungi akal ( hifdh al-‘aql), melindungi keturunan ( hifdh an- nasl), dan melindungi harat ( hifdh al- mal).[2]
Pandangan Islam terhadap maslahah mengesampingkan perbedaan pendapat tentang status illat as- syar’iyyah , apakah sebagai mu’arrif (penanda) , mu’atsir ( yang berperan), ataukah ba’its ( pendorong) juga mengesampingkan perbedaan pendapat tentang apakah perbuatan Allah mengandung illat ataukah tidak, mayoritas ulama sepakat bahwa keseluruhan hokum Allah mengandung maslahah di duniadan akhirat. Sebagaimana mereka sepakat bahwa maqashid as-syar’iyyah ( tujuan puncak syari’at) adalah mewujudkan kebahagiaan yang hakiki bagi manusia.[3]
Menurut Ahlussunah maslahah merupakan buah dari Tasyri’ dalam arti dimana ada hokum, disitu terdapat maslahah. Namun maslahah bukanlah pemantik munculnya sebuah hukum.[4]
Maqashid as-syar’iyyah merupakan prinsip- prinsip maslahah. Maqashid as-syar’iyyah  adalah Nilai yang dipertimbangkan syara’ dalam sebuah hukum atau bertujuan akhir dari syari’at dan rahasia- rahasia yang diletakkan Allah dalam setiap hukumnya. [5]

Mengetahui dari teks- teks syari’at serta mengaplikasikannya ke dalam kehidupan nyata sangat bergantung pada pemahaman terhadap maqashid as- syari’ah . seseorang yang menggali hukum dari nash- nash syari’at harus mengetahui rahasia dan tujuan universal dari tasyri’ karena hubungan antara penanda dan tertanda mempunyai probilitas lebih dari satu. Ketika itu maqashid mempunyai peran sebagai salah satu penguat dari beberapa kemungkinan.
 Apabila terdapat suatu peristiwa yang tida termaktub dalam nash- nash syari’at saat itulah maqashid assyar’iyah berperan sebagai piranti maslahah mursalah , istihsan dan metode interfensi hukum yang lain.[6]
Hal- hal yang tidak sesuai dengan maqashid as-syar’iyyah terpilah menjadi dua:
Ø  Sesuatu yang melihat kandungannya bertentangan dengan maqashid as-syar’iyyah . contoh : membnuh tanpa hak, minum- minuman keras dll. Hal itu dapat merusak stabilitas kehidupan manusia secara umum.
Ø  Sesuatu yang menilik kandungannya tidak bertentangan dengan maqashid a-syar’iyyah , namun karena niat yang buruk berubah menjadi instrument yang dapat memadamkan ruh maqashid as- syar’iyyah atau merusak sendi- sendinya.
Metode untuk mengetahui maslaha dan maqashid as- syar’iyyah :
Setiap hukum syari’at tentu tidak lepas dari tiga unsur ; sifat yang dlahir ( indrawi) dan mundlabith ( tidak berubah karena perubahan masa dan tempat , terukur). Unsur ini biasa disebut illat. Kedua nilai manfaat dan madlarat yang terdapat dalam sebuah perbuatan. Ini yang dikenal dengan maslahah dan mafsadah sedang unsur yang ketiga adalah apa yang dihasilkan tasyri’ ( pemberlakuan hukum) yang berupa mendatangka maslahah dan menghindarkan mafsadah atau disebut maqashid as- syar’iyyah . ketiga hal tersebut adalah unsur inheren yang tentu ada dalam setiap hukum.
1.             Secara umum
Alqur’an , hadist, ijma’, qiyas dan sarana istidlal shahih ( sarana penggalian dalil yang valid dan akurat). Merupakan media untuk mengetahui nilai- nilai maslahah yang ditunutt syari’ah .[7]
2.    Eksplorasi teks keagamaan.
Dengan cara melakukan pemahaman teks dan nilai yang terkandung di dalamnya. Baikyang tersurat maupun yang tersirat sekaligus mengoptimalkan fungsi akal untuk menggali kandungan teks yang lebih dalam. Maqasdid menurut as- Syatiby dapat diketahui melalui :
v Perintah (amr) dan larangan ( nahy) secara langsung dan lukulen ( sharih)
v Menilik alas an yang terdapat dalam sebuah perintah atau larangan melalui metode masalik al- illat
v Dalam pemberlakuan sebuah hokum , terdapat tujuan langsung dan tidak langsung ( tab’iyah)
3.    Versi at-Thahir Ibn ‘Asyur
1)      Metode induksi terhadap “ perjalanan “ syari’at
·       Meneliti hokum- hokum yang dapat diketahui illatnya dengan memakai piranti masalik al- illat.
·       Meneliti dalil- dalil hukumyang sama illatnya.
2)      Dalil- dalil Al-Qur’an yang jelas Dalalahnya.
3)      Hadist – hadist mutawatir.
a)    Mutawatir ma’nawy yang dilaksanakan dengan penglihatan langsung tiap- tiap sahabat terhadap perbuatan Nabi sehingga mereka semua mengetahui adanya tasyri’ hokum dengan pengetahuan yang sama diantara semua yang menyaksikan mutawatir ma’nawy adalah sumber utama hokum- hokum agama yang ma’lum bi ad – dlarurah ( diketahui tanpa membutuhkan penalaran) atau yangmendekati dlarurah. Contohnya : pelaksanaan khutbha setelah shalat id.
b)    Mutawatir ‘amaly yang dihasilkan oleh perindividu sahabat dari melihat perbuatan Rasulullah SAW. Secara berulang – ulang sehingga dari situ dapat disimpulkan maqashid as- syar’iyyah.[8]
Pengertian Maqashid As- Syar’iyyah.
Secara bahasa Maqashid Syari’ah terdiri dari dua kata yaitu Maqashid dan Syari’ah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, Maqashid merupakan bentuk jama’ dari maqsud yang berasal dari suku kata Qashada yang berarti menghendaki atau memaksudkan, Maqashid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan.[9]
Sedangkan Syari’ah secara bahasa berarti Jalan menuju sumber air.[10] Jalan menuju sumber air dapat juga diartikan berjalan menuju sumber kehidupan.[11]
Setelah menjelaskan definisi maqashid dan Syari’ah secara terpisah kiranya perlu mendefinisikan Maqashid Syari’ah setelah digabungkan kedua kalimat tersebut (Maqashid Syari’ah). menurut Asafri Jaya Bakri bahwa “Pengertian Maqashid Syari’ah secara istilah tidak ada definisi khusus yang dibuat oleh para ulama Usul fiqh, boleh jadi hal ini sudah maklum di kalangan mereka. Termasuk Syekh Maqasid (al-Syathibi) itu sendiri tidak membuat ta’rif yang khusus, beliau Cuma mengungkapkan tentang syari’ah dan funsinya bagi manusia seperti ungkapannya dalam kitab al-Muwwafakat”:
هذه الشريعة .... وضعت لتحقيق مقاصد الشارع في قيام مصالحهم في الدين والدنيا معا
Artinya: “Sesungguhnya syariat itu ditetapkan bertujuan untuk tegaknya (mewujudkan) kemashlahatan manusia di dunia dan Akhirat”.
Ketika sebuah hukum atau maslahah keluar dari jangkauan maqashid assyar’iyah berarti telah keluar dari syari’at itu sendiri.[12]
Sedangkan menurut As-Syathiby dan Ramadhan al- Buthi  maqashid  as syariah adalah  nilai universal yang terkandung dalam hokum – hokum partikular dan digali melalui metode induksi terhadap hukum-hukum particular tersebut.[13]
Merujuk definisi diatas , terdapat beberapa unsur elementer di dalam maqashid as syari’ah.
1.      maqashid bersifat universal.artinya nilai yang terkandung dalam maqashid as syariah tersebut mampu menembus semua produk hokum syari’ah.
2.      maqashid as syariah digali melalui metode induksi dalam hal ini maqashid as syariah tidak secara jelas dinyatakan dalam teks-teks keagamaan. Untuk mengetahuinya para ulama’ berupaya melelui analisa terhadap teks- teks tersebut dan segala halyang berkaitan dengannya.
3.      maqashid as syariah digali dari hokum agama particular,pada awal mulanya maqashid as syariah diproyeksikan sebagai salah satu instrumen untuk mengetahui secara ( hampir) benar aturan Tuhan.
Secara umum maqashid as syariah adalah menjaga keseimbangan alam raya dan membatasi aktivitas manusia supaya tidak jatuh ke jurang kerusakan dan kerugian.hal ini tercermin dalam firman Allah : Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan/turunkan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia (supaya mereka mempergunakan besi itu), dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Maha Perkasa." (al-Hadid 57: 25). 
الاحكام مشروعة لمصالح العباد
 Hukum-hukum diundangkan untuk kemashlahatan hamba”.[14]
Dari ungkapan al-Syatibi tersebut yang dikutip oleh Asafri Jaya Bakri bisa dikatakan bahwa Al- Syatibi tidak mendefinisikan Maqashid Syariah secara konfrehensif Cuma menegaskan bahwa doktrin Maqasid Al Syariah adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik di dunia maupun diakhirat. Oleh karena itu Asy-Syatibi meletakkan posisi maslahat sebagai ‘illat hukum atau alasan pensyariatan hukum Islam, berbeda dengan ahli ushul fiqih lainnya An-Nabhani misalnya beliau dengan hati-hati menekankan berulang-ulang, bahwa maslahat itu bukanlah ‘illat atau motif (al-ba‘its) penetapan syariat, melainkan hikmah, hasil (natijah), tujuan (ghayah), atau akibat (‘aqibah) dari penerapan syariat.
Proyek besar tuhan tersebut dijabarkan menjadi 5 besar yaitu :
1.      melindungi agama ( hifdh ad-din)
2.      menjaga jiwa( hifd an-nafs )
3.      menjaga harta ( hifdh al-mal)
4.      menjaga akal ( hifdh al- ‘aql)
5.      menjaga keturunan ( hifdh an- nasl) atau dikenal dengan Al-kulliyyat alkhomsah. ( Selanjutnya  disebut al-Kulliyyat saja).
Media untuk menjaga al- kulliyyat al khomsah terbagi menjadi 3 tingkat berdasarkan urgensinya. Tiga tingkatan tersebut diantara para pakar ushul fiqh dikenal dengan ad- dlaruriyat ( elementer) ,al –hajiyat(komplementer) , at- tahsiniyat( suplementer).
1.      al dlaruriyat
hal – hal yang menjadi unsure elementer kehidupan manusia baik yang bersifat duniawi maupun ukhrowi.
Dalam arti apabila unsur ini tidak ada, maka tatanan kehidupan akan mengalami kegoncangan, kerusakan merajalela.
Al kulliyyat mempunyai pengertian yang berbeda dalam kerangka ad-dlaruriyat.
Hifdh ad- din adalah melindungi agama setiap manusia dari hal- hal yang merusak akidah dan amaliah.
Secara lebih umum adalah menolak setiap hal yang berpotensi merusak  dasar dan sendi agama yang aksiomatik ( qath’y/pasti).
Hifdh an- nafs adalah melindungi jiwa dan raga seseorang darikerusakan baik secara individu ataupun kehidupan sosial.contoh : menghalalkan makanan.
Hifdh al- aql adalah  melindungi akal dari segala hal yang merusak. Contoh : pemberlakuan hukuman bagi penkonsumsi miras.
Hifdh an- nasl adalah meelindungi masyarakat dari kepunahan, dan melindungi status nasab manusia. Contoh : disyari’atkan pernikahan, diharamkan perzinaan dan menuduh zina (qadzaf).
Hifdh al- mal adalah melindungi harta dari kerusakan  dan menghidarkan jatuh ke tangan orang lain tanpa prosedur yang legal syar’i. contoh : jual beli ,sewa menyewa,hukuman bagi pencuri.
2.      Al- hajiyat
Hal – hal yang sangat dibutuhkan sebagai sarana mempermudah kehidupan masyarakat dan menghindarkan dari kesulitan.
Dalam kerangka al-hajiyat  hifdh an- nafs disyari’atkan aturan rukhsoh( keringanan).seperti mengucapkan kata- kata kufur  demi menyelamtkan jiwa,tidakberpuasaketikabepergian.
Untuk Hifdh al- mal disyari’atkan berbagai macam transaksi  yang bersifat sekunder seperti modal ventura,jasa catering ,pengolahan lahan dll.
Dalam bidang an- nasl ditetapkan aturan tentang mas kawin dan penceraian,ditetapkan kriteria saka dalam sanksi perzinaan.
Untuk mukammilah al hajiyat terhadap larangan ba’I ghoror ( jual beli yang mengandung unsure ketidakjelasan), aturan khiyar.
3.      At – tahsiniyat
Hal- hal yang ketiadaanya tidak mengganggu equilibrium kehidupan dan tidak menyebabkan kesulitan ( baraj) dengan manusia.
Dibidang hifdh ad- din adalah aturan najis , thoharoh dan menutup aurat.
Dalam bidang hifdh an- nafs : etika makan,minum mengharamkan makanan menjijikkan ,menjauhi sifat boros dan terlalu irit.
Dalam bidang hifdh al-mal : terdapat larangan jualbeli benda najis dan yang membahayakan tubuh,larangan menjual diatas transaksi orang lain.
Untuk hifdh an- nasl terdapat aturan kesepadanan  ( kafa’ah ) dalam suami istri ,etika hubungan dalam bentuk rumah tangga.
Dalam mukammilah attahsinniyat terdapat etika buang air , penrsyari’atan shodaqoh .
Maqashid tidak bisa berdiri sendiri :
universalitas maqashid itu sendiri.
As-syatiby menjelaskan meskipun maqashid as syar’iyah adalah nilai universal yang mempunyai daya jangkau dalam semuahukum syari’at, dalam aplikasi tidakmengabaikan terhadap hokum porsial yang dihasilkan melalui metode inverensi.contoh : hukuman cambuk pezina yang tertuang dalam Al-qur’an mujtahid tidak diperkenankan menghapus atau merevisi hukum.
Maqashid adalah bentuk plural dari kata tunggal qash, dalam bahasa as-Syatiby, maqashid berkaitan erat dengan iradah ( kehendak).
Antara ijtihad dengan maqasyid al-syari’at tidak dapat dipisahkan. Ijtihad pada intinya adalah upaya penggalian hukum syara’ secara optimal. Upaya penggalian hukum syara’ itu berhasil apabila seorang mujtahid dapat memahami maqasyid al-syari’at. [15]
Mengenai kedudukan ijtihad, apakah merupakan sumber hukum Islam ataukah sebagai metode penetapan hukum Islam, maka ada dua pandangan mengenai hal tersebut. Ada kelompok yang berpandangan bahwa ijtihad adalah sumber hukum Islam berdasar atas hadits dari Muaz bin Jabal. Hadits ini dipahami oleh kelompok lain yang berpandangan bahwa ijtihad adalah metode penetapan hukum Islam, sebab hadits tersebut mengisyaratkan bahwa sumber utama fiqih adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Jika tidak terdapat dalam kedua sumber tersebut, baru digunakan ijtihad dengan tetap merujuk kepada kedua sumber dimaksud. Ijtihad adalah merupakan kegiatan yang tidak mudah, karena memerlukan analisis yang tajam terhadap nash serta jiwa yang terkandung di dalamnya dengan memperhatikan aspek kaedah kebahasaan dan tujuan umum disyariatkannya hukum Islam (maqasyid al-syari’at). 
Dengan demikian, maqashid al-syari’ah ini akan membantu para mujtahid dalam menentukan kedhabitan aturan-aturan hukum serta mashlahah dan mafsadah, pengetahuan tentang maqashid al-syari’ah, dan pengetahuan tentang illat-illat hokum.
Pengertian Ijtihad
Proses eksplorasi melalui bentuk ketiga dalam isltilah ushuliyyin sering disebut dengan ijtihad. Secara umum ijtihad terbagi menjadi dua :
1.      Ijtihad yang akan tetap eksis selama beban hokum masih berlaku . ijtihad ini disebut tahqiq al- manath al- am yakni proses aplikasi muara hokum dalam praksisi contoh : dalam menentukan arah kiblat.
2.      Ijtihad yang dapat tertutup ketika tidak ada seorangpun yang memenuhi criteria. Hal ini dibagi menjadi 3 :
v  Tanqih al- manath yakni memilah antara unsure- unsure yang paling sesuai untuk diplot sebagai muara hokum diantara beberapa unsure yang terkandung dalam teks.
v  Takhrij al- manath ( menentukan muara hokum dengan menunjukkan nilai kesesuaian( munasabah) antara unsure tersebut dengan hokum dalam kaca mata syara’)
v  Tahqiq al- manath al- khash ( aplikasi muara hokum dalam permasalahan particular).
1.   Obyek dari tahqiq al- manath adalah macam ( na’u) bukan individu.
2.   Obyek perindividu
a.       Penalaran dalam penentuan muara hokum melihat bahwa hokum tersebut berlaku untuk semua manusia.
b.      Penalaran yang lebih spesifik.

Ijtihad dalam bahasa Arab berasal dari kata jahada yang artinya bersunggung-sungguh atau mencurahkan segala daya dalam berusaha (Othman Ishak, 1980:1).
Secara terminologis, ulama ushul mendefinisikan ijtihad sebagai mencurahkan kesanggupan dalam mengeluarkan hukum syara’ yang bersifat ‘amaliyah dari dalil-dalilnya yang terperinci baik dalam Al-Quran maupun Sunnah (Khallaf, 1978: 216).
Dalam hubungannya dalam hukum, ijtihad adalah usaha atau ikhtiar yang sungguh-sungguh dengan menggunakan segenap kemampuan yang ada, yang dilakukan oleh orang (ahli hukum) yang memenuhi syarat untuk merumuskan garis hukum yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya di dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah (Mohammad Daud Ali, 2011:116). Metode dalam melakukan ijtihad, antara lain:

1.      Qiyâs
Qiyas = reasoning by analogy, yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yang belum diterangkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah, dengan dianalogikan kepada hukum sesuatu yang sudah diterangkan hukumnya oleh al-Qur’an / as-Sunnah, karena ada sebab yang sama
Secara etimologis, qiyas berarti mengukur, membandingkan sesuatu dengan yang seumpama. Sedangkan secara terminologis, ahli ushul fiqh mendefinisikan qiyas sebagai mempersamakan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nash-nya lantaran ada persamaan ‘illat hukumnya dari dua peristiwa itu (Khallaf, 1978: 52).
Fungsi qiyas adalah untuk menemukan sebab atau ‘illat hukum yang diwahyukan untuk dikembangkan ke dalam kasus yang serupa. Dengan kata lain Qiyas artinya menggabungkan atau menyamakan artinya dalam menetapkan hukum bagi suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalam sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama.
Beberapa definisi qiyâs (analogi)
  1. Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan di antara keduanya.
  2. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan di antaranya.
  3. Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam [Al-Qur'an] atau [Hadist] dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).
Unsur-unsur yang harus ada (rukun) pada qiyas, yaitu:
1. Maqis ‘alaih (tempat meng-qiyas-kan sesuatu kepadanya) atau sering disebut ashl (sesuatu yang dihubungkan kepadanya sesuatu yang lain).
2. Maqis (sesuatu yang akan di-qiyas-kan), atau sering disebut furu’ (sesuatu yang akan disamakan hukumnya dengan ashl.
3. Hukum ashl, yaitu hukum yang ada pada ashl yang ditetapkan berdasarkan nash, dan hukum ini juga yang akan ditetapkan pada furu’.
4. Illat, yaitu sifat yang menjadi dasar ditetapkannya hukum. Jika illat yang ada pada ashl dan furu’ sama, maka hukum keduanya sama.
2.      Istihsan
Istihsan menurut bahasa adalah menganggap baik sesuatu. Sedangkan menurut istilah yaitu beralihnya pemikiran seorang mujtahid dari tuntutan qias yang nyata kepada qias yang samar atau dari hokum umum kepada perkecualian karena ada mashlahat yang memenangkan perpndaha itu. Metode ni erat kaitannya dengan maqashid al-syari’ah.
3.      Al-Mashlahat Al-Mursalat
Sebagaimana halnya metode ijtihad lainnya al-mashlahat al-mursalat juga merupakan metode penetapan hokum yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan hadits. Hanya saja metode ini lebih menekankan pada aspek mashlahat secara langsung. Sehubungan dengan metode ini dalam ilmu ushul fiqih dikenal ada tiga macam mashlahat yaitu  mashlahat mu’tabara yaitu mashlahat yang diungkapkan secara langsung baik dalam Al-Qur’an ataupun hadits. Maslahat mulghat yaitu maslahat yang bertentangan dengan ketentuan yang ermaktub dalam kedua sumber hukum islam. Yang terakhir maslahat mursalat yaitu maslahat yang tidak ditetapkan oleh kedua sumber hukum islam tersebut.
B.  HUBUNGAN MAQASHID ASY-SYAR’IYYAH DENGAN METODE IJTIHAD LAINNYA

Sebagaimana dijelaskan diatas pada dasarnya tujuan utama disyari’atkan hukum adalah untuk memelihara kemaslahatan dan sekaligus menghindari kemafsadatan baik di dunia mamupun di akhirat. Segala macam maslah hukum baik yang secara khusus diatur dalam Al-Qur’an dan Hadits maupun yang dihasilkan oleh ijtihad haruslah bertitik tolak pada tujuan tersebut.
Ijtihad merupakan pencurahan kemampuan seorang mujtahid dalam rangka memperoleh hukum-hukum syar’i. ijtihad ini biasa digunakan oleh ahli ushul fiqih untuk mencari kemaslahatan suatu masalah. Berbagai macam istilah telah digunakan oleh ahli ushul fiqih untuk menyebut metode penemuan hukum. Namun pada dasarnya semua metode tersebut bermuara pada upaya penemuan maslahat dan menjadikannya sebagai alat untuk menetapkan hukum yang permasalahannya tidak disebutkan dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Maka atas dasar inilah maka dapat dikatakan bahwa setip metode penetapan hokum yang dipakai oleh para ahli ushul fiqih bersumber dari Maqashid Al-Syari’ah.
1. Qiyas
 Dalam ilmu fiqih qiyas pada umumnya dirumuskan sebagai kiat untuk menetapkan hukum yang kasusnya tidak terdapat dalam nash dengan cara menyamakan denan kasus yang terdapat dalam nash, disebabkan persamaat illat hukum. Berdasarkan rumusan ini maka dalam menggunakan metode qiyas, da metode ini terdapat empat unsur yaitu ‘ashl, far’u, hukmu al-‘ashl, dan illat. Dari keempat unsur itu unsur yang terakhir yaitu illat, sangat penting dan sangat menentukan. Ada atau tidak adanya suatu hokum dalam kasus baru sangat tergantung pada ada atau tidak adanya illat pada kasus tersebut. 
Berbicara tentang illat perlu ditelusuri pengertiannya dalam perbedaan serta hubungan dengan hikmat. Dalam ilmu ushul fiqih illat dirumuskan sebagai suatu sifat tertentu yang jelas dapat diketahui secara obyektif ( zhahir ), dapat diketahui dengan jelas dan ada tolak ukurnya dan sesuai dengan ketentuan hukum yang keberadaannya merupakan penentu adanya hukum. Sedangkat hikmat adalah yang menjadi tujuan atau maksud disyari’atkan hukum dalam wujud kemasalahatan bagi manusia. Jadi perbedaan antara keduanya terletak pada peranannya dalam menentukan ada atau tidak adanya hukum. Illat merupakan tujuan yang dekat dan dapat dijadikan dasar penetapan hokum. Sedangkan hikmat merupakan tujuan yang jauh dan tidak dapat dijadikan dasar penetapan hokum.
Adapun contoh yang sering digunakan oleh ahli ushul fiqih adalah mengenai shalat qashar. Untuk menetapkan boleh atau tidaknya shalalt qashar telah ditetapkan bahwa berpergian merupakan illat dibolehkannya shalat qashar. Sedangkat kesulitannya merupakat hikmat dibolehkannya shalat tersebut. Jadi boleh atau tidaknya shalat qashar tergantung pada ada atau tidak adanya illat, yaitu berpergian sebab berpergian dianggap sebagai indicator adanya kesulitan. Sedangkan dalam bidang mu’amalah biasanya dikemukakan tentannghak syufa’at yait hak pembelian bagi seseorang yang berserikat dengan penjual dalam sebidang anah atau tempat tinggal. Dalam hal ini persekutuan merupakan illat adanya hak syufa’at. Sedangkan kmatnya adalah untuk menghindari kesulitan yang timbul disebabkan masuknya orang lain yang bykan sekutunya.dengan demikian persekutuan dijadikan adanya hak syufa’at. Karena dasumsikan bahwa karena masuknya unsure lalin daam persekutuan itu akan terjadi kesulitan. Perlu ditambahkan bahwa meskipun contoh diatas mewakili dua aspek ilmu fiqih, ibadah dan mu’amalah namun perlu dibedakan antara illat dalam bidang ibadah dan illa dalam bidang mu’amalah. Dalam bidang bidang ibadah illat tidak boleh lebih dari sekedar manfaat tidak ada pengaruhnya terhadap istinbath hokum. Dengan kata lain illat dalam bidang ibadah tidak efektif. Karena itu pada dasarnya qiyas dalam bidang ibadah tidak dapat diberlakukan. Sedangkan dala bidang mu’amalah illat berlaku efektif dalm menetapkan hokum. Hal ini didasarkan pada satu teor, bahwa pada dasarnya aspek mu’amalah dapat diketahui hikmat dan rahasianya, sedangkan aspek ibadah tidak demikian.
Berdasarkan pernyataan diatas dapat dipahami bahwa dalam qiyas penemuan illat dari hikmat sangat menentukan keberhasilan mujtahid dalam menetapkan hokum. Dari sinilah dapat dilihat betapa eratnya hubungan antara mtode qiyas dengan metode Maqashi Al-Syari’ah.para ahli ushu fiqih mengolaborasikan keterkaitan antara keduanya. Menurut mereka hikmat baru dapat dijadikan illat setelah diketahui dan ditelusuri maksud disyari’atkan hokum itu. Dalam menentukan maksud dan tujuan hokum itu tidak dapat diabaikan pemahaman tentang mashlahat dan mafsadat yang merupakat inti dari kajian maqashid al-syari’ah.      
2.      Istihsan
Istihsan menurut bahasa adalah menganggap baik sesuatu. Sedangkan menurut istilah yaitu beralihnya pemikiran seorang mujtahid dari tuntutan qias yang nyata kepada qias yang samar atau dari hokum umum kepada perkecualian karena ada mashlahat yang memenangkan perpndaha itu. Metode ni erat kaitannya dengan maqashid al-syari’ah. Adapun beberapa macam istihsan yang langsung aaupun tidak langsung berkaitan dengan teori maqashid al-syari’ah yaitu :
a.       Istihsan bi al-Nash yaitu istihsan berdasarkan pada nash lain yang menghendaki tidak berlakunya dalil yang pertama. Dalil yang pertama bersifat khusus  sedangkan dalil yang kedua bersifat umum. Contoh jual-beli salam, pada dasarnya jual beli salam itu dilarang sebagaimana hadits nabi yang menjelaskan bahwa “janganlah kamu menjual sesuatu yang bukan milikmu” akan tetapi nabi sendiri yang mengecualikan ketentuan itu untuk jual beli salam. Adapun hikmat dibenarkan jual-beli tersebut adalah untuk membantu pedagang yang idak punya modal yang cukup sehingga ia memperoleh modal tambahan bagi calaon pembeli. Hal ini pada umumnya untuk memelihara harta pedagang tersebut sekaligus mengembangkannya. Lebih dari itu akad ini mencerminkan kemudahan bermu’amalah. Memelihara harta dalam berbagai peringkat kebutuhannya termasuk ruang lingkup maqashid al-syari’ah.
b.      Istihsan bi al-mashlahat yaitu istihsan yang didasarkan pada mashlahat dalam berbagai peringkatnya padahal qiyas sendiri tidak menghendaki demikian. Adakalanya mashlahat itu masuk peringkat dharuriyat dan adakalanya masuk hajiyat. Sebenarnya berbicara tentang istihsan maka sudah dipastikan bahwa tujuannya adalah untuk memperoleh kemashlahatan. Hanya saja kemashlahatan yang dimaksud adakalanya ditentukan oeh nash dan adakalanya tidak. Dalam hal yang disebut terakhir maka peranan mujtahid sangat penting untuk mengidentifikasi jenis kemaslahatan sekaligus memperhatikan peringkat kemaslahatan.
3.      Al-Mashlahat Al-Mursalat
Sebagaimana halnya metode ijtihad lainnya al-mashlahat al-mursalat juga merupakan metode penetapan hokum yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan hadits. Hanya saja metode ini lebih menekankan pada aspek mashlahat secara langsung. Sehubungan dengan metode ini dalam ilmu ushul fiqih dikenal ada tiga macam mashlahat yaitu  mashlahat mu’tabara yaitu mashlahat yang diungkapkan secara langsung baik dalam Al-Qur’an ataupun hadits. Maslahat mulghat yaitu maslahat yang bertentangan dengan ketentuan yang ermaktub dalam kedua sumber hukum islam. Yang terakhir maslahat mursalat yaitu maslahat yang tidak ditetapkan oleh kedua sumber hukum islam tersebut.
Pada dasarnya mayoritas ahi ushul fiqih menerima metode maslahat mursalat. Untuk menggunkan metode tersebut mereka memberikan beberapa syarat. Adapun beberapa syarat agar maslahat dapat dijadikan dasar hokum adalah sbagai berikut :
a.       Kemaslahatan itu termasuk dalam kategori dharuriyyat. Artinya bahwa untuk menetapkan suatu kemaslahatan tingkat keperluannya hrus diperhatikan. Apakah sampai mengancam lima unsure pokok maslahat atau belm sampai pada batas tersebut,.
b.      Kemaslahatan itu bersifat qath’i. Artinya yang dimaksud dengan maslahat tersebut benar-benar telah diyakini sebagai maslahat, tidak didasarkan pada dugaan semata-mata.
c.       Kemaslahatan itu bersifat kulli. Artinya bahwa kemaslahatan itu berlaku secara umum dan kolektif tidak bersifat individual.
Berdasarkan persyaratan diatas maslahat yang dikemukakan oleh para ahli ushul fiqih dapat dipahami bahwa betapa eratnya hubungan antara metode mashlahat mursalat dengan maqashid al-syari’ah. Ungkapan Imam Malik bahwa maslahat itu harus sesuai dengan tujuan disyariatkan hokum dan diarahkan pada upaya menghilangkan kesulitan.[16]



BAB III
PENUTUP
Tidak diragukan lagi, bahwa maqasid al-syariah adalah akar dalam perintah tekstual Al-qur'an dan as-Sunnah, tetapi mereka melihat secara utama pada philosophi umum dan tujuan perintah ini sering melebihi bidang keahlian (the speciality) dari teks itu.
Fokusnya tidak banyak pada kata-kata dan kalimat dari nash itu sebagaimana dalam tujuan dan maksud yang disarankan dan ditegakan. Dengan perbandingan terhadap teori yang sah dari sumber-sumber, ushul fiqh, maqasid al-syariah tidak dibebaskan dengan dasar-dasar metodologi dan pemahaman para literalis dari suatu nash.
Karena maqasid al-syariah terintegrasikan derajat versatility (kepandaian yang beraneka ragam) dan ke-komprehensif–an kedalam pemahaman syari'ah yang itu, dalam banyak cara, unik dan muncul diatas permukaan seiring dengan pergantian waktu dan keadan lingkungan.
Pada saat, ketika beberapa doktrin penting ushul fiqh seperti ijma (general consensus), qiyas (analogical reason) dan bahkan ijtihad dibebani dengan kondisi-kondisi yang sulit, kondisi yang mungkin berdiri dengan sebuah ukuran ketidakharmonisan dengan iklim negara-politik yang berlaku pada negara-negara Muslim sekarang ini dan akses yang tepat sekali untuk syari’ah.



DAFTAR PUSTAKA
Muhammad at- Thahir Ibn ‘Asyur, Maqashid as- Syar’iyyah al- Islamiyah, Yordania, dar an Nafa is, cet.ke -2,2001,hal.278
Muhammad Ibn Muhammad al- Ghazaly, al-mustashfa, Dar al- kutub al- Ilmiyyah, Beirut,2000,hal.174
Saif ad-Din Abi al- Husain ‘Ali Ibn Muhammad al- Amidy, al- Ihkam Fi Ushul al- Ahkam, Dar al- Kutub, vol III,hal.411
Wahbah az- Zuhaily, Ushul al- Fiqh al- Islamy, Damaskus, Dar al- Fikr, cet XIV,2006,Vol II, hal.293
Ibid,hal.307
Ibid , hal.337
‘Izz ad-Din Abd al- Aziz Ibn Abd as-salam as- Sulamu,op.cit.,hal 11
Muhammad at- Thahir Ibn ‘Asyur,op.cit.,hal.190-194
Ahmad Qorib, Ushul Fikih 2, (Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997), Cet, II), h. 170.
Dikutip oleh Asafri Jaya dalam kitab lisan al-‘Arab Ibnu Mansur al-Afriqi, (Bairut: Dar al-Sadr, t.th),VIII, h. 175
Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa: Ahsin Muhammad, ( Bandung: Pustaka, 1994), h. 140
Abu ishaq Ibrahim ibn Musa al- Lakhmi al- ghurnathy as-Syatiby,op.cit.,hal.469-482
 Fiqh Holistik. KASTURI ( Kodifikasi Santri Lirboyo 2008) . hal : 68
Asafri Jaya, Bakri , Konsep Maqashid Syari’ah menurut al- Syatibi, (Jakarta: P.T. Raja grafindo Persada, 1996).
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syai’ah Menurut al-Syatibi, ……h,.129 
Fathur rahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, ( Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997 ), hal. 143
SUMBER umum dari  : KASTURI ( Kodifikasi Santri Lirboyo 2008) . BUAH PIKIRAN UNTUK UMAT Telaah Fiqh Holistik.cet I,Sya’ban 1429 H.



[1] Muhammad at- Thahir Ibn ‘Asyur, Maqashid as- Syar’iyyah al- Islamiyah, Yordania, dar an Nafa is, cet.ke -2,2001,hal.278
[2] Muhammad Ibn Muhammad al- Ghazaly, al-mustashfa, Dar al- kutub al- Ilmiyyah, Beirut,2000,hal.174
[3] Saif ad-Din Abi al- Husain ‘Ali Ibn Muhammad al- Amidy, al- Ihkam Fi Ushul al- Ahkam, Dar al- Kutub, vol III,hal.411
[4] Wahbah az- Zuhaily, Ushul al- Fiqh al- Islamy, Damaskus, Dar al- Fikr, cet XIV,2006,Vol II, hal.293
[5] Ibid,hal.307


[6] Ibid , hal.337
[7] ‘Izz ad-Din Abd al- Aziz Ibn Abd as-salam as- Sulamu,op.cit.,hal 11
[8] Muhammad at- Thahir Ibn ‘Asyur,op.cit.,hal.190-194
[9] Ahmad Qorib, Ushul Fikih 2, (Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997), Cet, II), h. 170.
[10] Dikutip oleh Asafri Jaya dalam kitab lisan al-‘Arab Ibnu Mansur al-Afriqi, (Bairut: Dar al-Sadr, t.th),VIII, h. 175
[11] Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa: Ahsin Muhammad, ( Bandung: Pustaka, 1994), h. 140
[12] Abu ishaq Ibrahim ibn Musa al- Lakhmi al- ghurnathy as-Syatiby,op.cit.,hal.469-482
[13] Fiqh Holistik. KASTURI ( Kodifikasi Santri Lirboyo 2008) . hal : 68
[14] Asafri Jaya, Bakri , Konsep Maqashid Syari’ah menurut al- Syatibi, (Jakarta: P.T. Raja grafindo Persada, 1996).

[15] Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syai’ah Menurut al-Syatibi, ……h,.129 
[16] Fathur rahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, ( Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997 ), hal. 143