BAB
I
PEMBAHASAN
A. MENGENAL MASLAHAH, MAQASHID
AS-SYAR’IYYAH DAN IJTIHAD
Sebelum kita membahas
maqashid as-syar’iyyah kita akan membahas maslahah terlebih dahulu.
Maslahah dalam bahasa
arab merupakan derivasi ( turunan kata) dari akar kata shalah yang mengandung makna bermanfaat.
Menurut at-Thahir Ibn
‘Asyur maslahah adalah nilai dalam perilaku yang dapat membawa kemanfaatan baik
selamanya ataupun umumnya, untuk mayoritas manusia atau individu.[1]
Sedangkan menurut
al-Ghazaly maslahah adalah menjaga maqashid as- syar’iyyah ( tujuan utama
syari’at) yang lima yaitu melindungi agama ( hifdh ad- din), melindungi jiwa
dan keselamatan fisik ( hifdh an- nafs), melindungi akal ( hifdh al-‘aql),
melindungi keturunan ( hifdh an- nasl), dan melindungi harat ( hifdh al- mal).[2]
Pandangan Islam
terhadap maslahah mengesampingkan perbedaan pendapat tentang status illat as-
syar’iyyah , apakah sebagai mu’arrif (penanda) , mu’atsir ( yang berperan),
ataukah ba’its ( pendorong) juga mengesampingkan perbedaan pendapat tentang
apakah perbuatan Allah mengandung illat ataukah tidak, mayoritas ulama sepakat
bahwa keseluruhan hokum Allah mengandung maslahah di duniadan akhirat.
Sebagaimana mereka sepakat bahwa maqashid as-syar’iyyah ( tujuan puncak
syari’at) adalah mewujudkan kebahagiaan yang hakiki bagi manusia.[3]
Menurut Ahlussunah
maslahah merupakan buah dari Tasyri’ dalam arti dimana ada hokum, disitu
terdapat maslahah. Namun maslahah bukanlah pemantik munculnya sebuah hukum.[4]
Maqashid as-syar’iyyah
merupakan prinsip- prinsip maslahah. Maqashid
as-syar’iyyah adalah Nilai yang dipertimbangkan syara’ dalam sebuah
hukum atau bertujuan akhir dari syari’at dan rahasia- rahasia yang diletakkan
Allah dalam setiap hukumnya. [5]
Mengetahui dari teks- teks syari’at serta
mengaplikasikannya ke dalam kehidupan nyata sangat bergantung pada pemahaman
terhadap maqashid as- syari’ah . seseorang yang menggali hukum dari nash- nash
syari’at harus mengetahui rahasia dan tujuan universal dari tasyri’ karena
hubungan antara penanda dan tertanda mempunyai probilitas lebih dari satu.
Ketika itu maqashid mempunyai peran sebagai salah satu penguat dari beberapa
kemungkinan.
Apabila
terdapat suatu peristiwa yang tida termaktub dalam nash- nash syari’at saat
itulah maqashid assyar’iyah berperan sebagai piranti maslahah mursalah ,
istihsan dan metode interfensi hukum yang lain.[6]
Hal-
hal yang tidak sesuai dengan maqashid as-syar’iyyah terpilah menjadi dua:
Ø Sesuatu
yang melihat kandungannya bertentangan dengan maqashid as-syar’iyyah . contoh :
membnuh tanpa hak, minum- minuman keras dll. Hal itu dapat merusak stabilitas
kehidupan manusia secara umum.
Ø Sesuatu
yang menilik kandungannya tidak bertentangan dengan maqashid a-syar’iyyah ,
namun karena niat yang buruk berubah menjadi instrument yang dapat memadamkan
ruh maqashid as- syar’iyyah atau merusak sendi- sendinya.
Metode
untuk mengetahui maslaha dan maqashid as- syar’iyyah :
Setiap hukum syari’at tentu tidak lepas dari
tiga unsur ; sifat yang dlahir ( indrawi) dan mundlabith ( tidak berubah karena
perubahan masa dan tempat , terukur). Unsur ini biasa disebut illat. Kedua
nilai manfaat dan madlarat yang terdapat dalam sebuah perbuatan. Ini yang
dikenal dengan maslahah dan mafsadah sedang unsur yang ketiga adalah apa yang
dihasilkan tasyri’ ( pemberlakuan hukum) yang berupa mendatangka maslahah dan
menghindarkan mafsadah atau disebut maqashid as- syar’iyyah . ketiga hal
tersebut adalah unsur inheren yang tentu ada dalam setiap hukum.
1.
Secara umum
Alqur’an
, hadist, ijma’, qiyas dan sarana istidlal shahih ( sarana penggalian dalil
yang valid dan akurat). Merupakan media untuk mengetahui nilai- nilai maslahah
yang ditunutt syari’ah .[7]
2.
Eksplorasi teks keagamaan.
Dengan
cara melakukan pemahaman teks dan nilai yang terkandung di dalamnya. Baikyang
tersurat maupun yang tersirat sekaligus mengoptimalkan fungsi akal untuk
menggali kandungan teks yang lebih dalam. Maqasdid menurut as- Syatiby dapat
diketahui melalui :
v Perintah
(amr) dan larangan ( nahy) secara langsung dan lukulen ( sharih)
v Menilik
alas an yang terdapat dalam sebuah perintah atau larangan melalui metode
masalik al- illat
v Dalam
pemberlakuan sebuah hokum , terdapat tujuan langsung dan tidak langsung (
tab’iyah)
3.
Versi at-Thahir Ibn ‘Asyur
1)
Metode induksi terhadap “ perjalanan “
syari’at
·
Meneliti hokum- hokum yang dapat
diketahui illatnya dengan memakai piranti masalik al- illat.
·
Meneliti dalil- dalil hukumyang sama
illatnya.
2)
Dalil- dalil Al-Qur’an yang jelas
Dalalahnya.
3)
Hadist – hadist mutawatir.
a)
Mutawatir ma’nawy yang dilaksanakan
dengan penglihatan langsung tiap- tiap sahabat terhadap perbuatan Nabi sehingga
mereka semua mengetahui adanya tasyri’ hokum dengan pengetahuan yang sama
diantara semua yang menyaksikan mutawatir ma’nawy adalah sumber utama hokum-
hokum agama yang ma’lum bi ad – dlarurah ( diketahui tanpa membutuhkan
penalaran) atau yangmendekati dlarurah. Contohnya : pelaksanaan khutbha setelah
shalat id.
b)
Mutawatir ‘amaly yang dihasilkan oleh
perindividu sahabat dari melihat perbuatan Rasulullah SAW. Secara berulang –
ulang sehingga dari situ dapat disimpulkan maqashid as- syar’iyyah.[8]
Pengertian Maqashid As- Syar’iyyah.
Secara bahasa Maqashid Syari’ah terdiri dari
dua kata yaitu Maqashid dan Syari’ah. Maqashid berarti
kesengajaan atau tujuan, Maqashid merupakan bentuk jama’ dari maqsud yang
berasal dari suku kata Qashada yang berarti menghendaki atau memaksudkan,
Maqashid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan.[9]
Sedangkan Syari’ah secara bahasa berarti Jalan
menuju sumber air.[10] Jalan menuju sumber air dapat juga diartikan
berjalan menuju sumber kehidupan.[11]
Setelah menjelaskan definisi maqashid dan
Syari’ah secara terpisah kiranya perlu mendefinisikan Maqashid Syari’ah setelah
digabungkan kedua kalimat tersebut (Maqashid Syari’ah). menurut Asafri
Jaya Bakri bahwa “Pengertian Maqashid Syari’ah secara istilah tidak ada
definisi khusus yang dibuat oleh para ulama Usul fiqh, boleh jadi hal ini sudah maklum di kalangan mereka. Termasuk
Syekh Maqasid (al-Syathibi) itu sendiri tidak membuat ta’rif yang khusus,
beliau Cuma mengungkapkan tentang syari’ah dan funsinya bagi manusia seperti
ungkapannya dalam kitab al-Muwwafakat”:
هذه الشريعة .... وضعت لتحقيق مقاصد الشارع في قيام مصالحهم في
الدين والدنيا معا
Artinya: “Sesungguhnya syariat itu
ditetapkan bertujuan untuk tegaknya (mewujudkan) kemashlahatan manusia di dunia
dan Akhirat”.
Ketika sebuah hukum atau maslahah keluar dari
jangkauan maqashid assyar’iyah berarti telah keluar dari syari’at itu sendiri.[12]
Sedangkan menurut As-Syathiby dan Ramadhan al-
Buthi maqashid as syariah adalah nilai universal yang terkandung dalam hokum –
hokum partikular dan digali melalui metode induksi terhadap hukum-hukum
particular tersebut.[13]
Merujuk definisi diatas , terdapat beberapa
unsur elementer di dalam maqashid as syari’ah.
1. maqashid bersifat universal.artinya nilai yang
terkandung dalam maqashid as syariah tersebut mampu menembus semua produk hokum
syari’ah.
2. maqashid as syariah digali melalui metode
induksi dalam hal ini maqashid as syariah tidak secara jelas dinyatakan dalam
teks-teks keagamaan. Untuk mengetahuinya para ulama’ berupaya melelui analisa
terhadap teks- teks tersebut dan segala halyang berkaitan dengannya.
3. maqashid as syariah digali dari hokum agama
particular,pada awal mulanya maqashid as syariah diproyeksikan sebagai salah
satu instrumen untuk mengetahui secara ( hampir) benar aturan Tuhan.
Secara umum maqashid as syariah adalah menjaga
keseimbangan alam raya dan membatasi aktivitas manusia supaya tidak jatuh ke
jurang kerusakan dan kerugian.hal ini tercermin dalam firman Allah : Sesungguhnya
Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan
telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya
manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan/turunkan besi yang
padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia (supaya
mereka mempergunakan besi itu), dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong
(agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya
Allah Mahakuat lagi Maha Perkasa." (al-Hadid
57: 25).
الاحكام مشروعة لمصالح العباد
Hukum-hukum diundangkan untuk kemashlahatan hamba”.[14]
Dari ungkapan al-Syatibi tersebut yang dikutip
oleh Asafri Jaya Bakri bisa dikatakan bahwa Al- Syatibi tidak mendefinisikan
Maqashid Syariah secara konfrehensif Cuma menegaskan bahwa doktrin Maqasid Al Syariah adalah satu,
yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik di
dunia maupun diakhirat. Oleh karena itu Asy-Syatibi meletakkan posisi maslahat
sebagai ‘illat hukum atau alasan pensyariatan hukum Islam, berbeda
dengan ahli ushul fiqih lainnya An-Nabhani misalnya beliau dengan
hati-hati menekankan berulang-ulang, bahwa maslahat itu bukanlah ‘illat
atau motif (al-ba‘its) penetapan syariat, melainkan hikmah, hasil
(natijah), tujuan (ghayah), atau akibat (‘aqibah) dari penerapan syariat.
Proyek besar tuhan tersebut dijabarkan menjadi
5 besar yaitu :
1. melindungi agama ( hifdh ad-din)
2. menjaga jiwa( hifd an-nafs )
3. menjaga harta ( hifdh al-mal)
4. menjaga akal ( hifdh al- ‘aql)
5. menjaga keturunan ( hifdh an- nasl) atau
dikenal dengan Al-kulliyyat alkhomsah. ( Selanjutnya disebut al-Kulliyyat saja).
Media untuk menjaga al- kulliyyat al khomsah
terbagi menjadi 3 tingkat berdasarkan urgensinya. Tiga tingkatan tersebut
diantara para pakar ushul fiqh dikenal dengan ad- dlaruriyat ( elementer) ,al
–hajiyat(komplementer) , at- tahsiniyat( suplementer).
1.
al dlaruriyat
hal – hal yang menjadi unsure elementer
kehidupan manusia baik yang bersifat duniawi maupun ukhrowi.
Dalam arti apabila unsur ini tidak ada, maka
tatanan kehidupan akan mengalami kegoncangan, kerusakan merajalela.
Al kulliyyat mempunyai pengertian yang berbeda
dalam kerangka ad-dlaruriyat.
Hifdh ad- din adalah melindungi agama setiap
manusia dari hal- hal yang merusak akidah dan amaliah.
Secara lebih umum adalah menolak setiap hal
yang berpotensi merusak dasar dan sendi
agama yang aksiomatik ( qath’y/pasti).
Hifdh an- nafs adalah melindungi jiwa dan raga
seseorang darikerusakan baik secara individu ataupun kehidupan sosial.contoh :
menghalalkan makanan.
Hifdh al- aql adalah melindungi akal dari segala hal yang merusak.
Contoh : pemberlakuan hukuman bagi penkonsumsi miras.
Hifdh an- nasl adalah meelindungi masyarakat
dari kepunahan, dan melindungi status nasab manusia. Contoh : disyari’atkan
pernikahan, diharamkan perzinaan dan menuduh zina (qadzaf).
Hifdh al- mal adalah melindungi harta dari
kerusakan dan menghidarkan jatuh ke
tangan orang lain tanpa prosedur yang legal syar’i. contoh : jual beli ,sewa
menyewa,hukuman bagi pencuri.
2.
Al- hajiyat
Hal – hal yang sangat dibutuhkan sebagai
sarana mempermudah kehidupan masyarakat dan menghindarkan dari kesulitan.
Dalam kerangka al-hajiyat hifdh an- nafs disyari’atkan aturan rukhsoh(
keringanan).seperti mengucapkan kata- kata kufur demi menyelamtkan
jiwa,tidakberpuasaketikabepergian.
Untuk Hifdh al- mal disyari’atkan berbagai
macam transaksi yang bersifat sekunder
seperti modal ventura,jasa catering ,pengolahan lahan dll.
Dalam bidang an- nasl ditetapkan aturan
tentang mas kawin dan penceraian,ditetapkan kriteria saka dalam sanksi
perzinaan.
Untuk mukammilah al hajiyat terhadap larangan
ba’I ghoror ( jual beli yang mengandung unsure ketidakjelasan), aturan khiyar.
3.
At – tahsiniyat
Hal- hal yang ketiadaanya tidak mengganggu
equilibrium kehidupan dan tidak menyebabkan kesulitan ( baraj) dengan manusia.
Dibidang hifdh ad- din adalah aturan najis ,
thoharoh dan menutup aurat.
Dalam bidang hifdh an- nafs : etika
makan,minum mengharamkan makanan menjijikkan ,menjauhi sifat boros dan terlalu
irit.
Dalam bidang hifdh al-mal : terdapat larangan
jualbeli benda najis dan yang membahayakan tubuh,larangan menjual diatas
transaksi orang lain.
Untuk hifdh an- nasl terdapat aturan
kesepadanan ( kafa’ah ) dalam suami
istri ,etika hubungan dalam bentuk rumah tangga.
Dalam mukammilah attahsinniyat terdapat etika
buang air , penrsyari’atan shodaqoh .
Maqashid tidak bisa berdiri sendiri :
universalitas maqashid itu sendiri.
As-syatiby
menjelaskan meskipun maqashid as syar’iyah adalah nilai universal yang
mempunyai daya jangkau dalam semuahukum syari’at, dalam aplikasi
tidakmengabaikan terhadap hokum porsial yang dihasilkan melalui metode
inverensi.contoh : hukuman cambuk pezina yang tertuang dalam Al-qur’an mujtahid
tidak diperkenankan menghapus atau merevisi hukum.
Maqashid adalah bentuk plural dari kata
tunggal qash, dalam bahasa as-Syatiby, maqashid berkaitan erat dengan iradah (
kehendak).
Antara ijtihad dengan maqasyid al-syari’at tidak
dapat dipisahkan. Ijtihad pada intinya adalah upaya penggalian hukum syara’
secara optimal. Upaya penggalian hukum syara’ itu berhasil apabila seorang
mujtahid dapat memahami maqasyid al-syari’at.
[15]
Mengenai
kedudukan ijtihad, apakah merupakan sumber hukum Islam ataukah sebagai metode
penetapan hukum Islam, maka ada dua pandangan mengenai hal tersebut. Ada
kelompok yang berpandangan bahwa ijtihad adalah sumber hukum Islam berdasar
atas hadits dari Muaz bin Jabal. Hadits ini dipahami oleh kelompok lain yang
berpandangan bahwa ijtihad adalah metode penetapan hukum Islam, sebab hadits
tersebut mengisyaratkan bahwa sumber utama fiqih adalah al-Qur’an dan
as-Sunnah. Jika tidak terdapat dalam kedua sumber tersebut, baru digunakan
ijtihad dengan tetap merujuk kepada kedua sumber dimaksud. Ijtihad adalah
merupakan kegiatan yang tidak mudah, karena memerlukan analisis yang tajam
terhadap nash serta jiwa yang terkandung di dalamnya dengan memperhatikan aspek
kaedah kebahasaan dan tujuan umum disyariatkannya hukum Islam (maqasyid
al-syari’at).
Dengan demikian, maqashid
al-syari’ah ini akan membantu para mujtahid dalam menentukan kedhabitan
aturan-aturan hukum serta mashlahah dan mafsadah, pengetahuan
tentang maqashid al-syari’ah, dan pengetahuan tentang illat-illat
hokum.
Pengertian
Ijtihad
Proses eksplorasi melalui bentuk ketiga dalam
isltilah ushuliyyin sering disebut dengan ijtihad. Secara umum ijtihad terbagi
menjadi dua :
1.
Ijtihad yang
akan tetap eksis selama beban hokum masih berlaku . ijtihad ini disebut tahqiq
al- manath al- am yakni proses aplikasi muara hokum dalam praksisi contoh :
dalam menentukan arah kiblat.
2.
Ijtihad yang
dapat tertutup ketika tidak ada seorangpun yang memenuhi criteria. Hal ini
dibagi menjadi 3 :
v Tanqih
al- manath yakni memilah antara unsure- unsure yang paling sesuai untuk diplot
sebagai muara hokum diantara beberapa unsure yang terkandung dalam teks.
v Takhrij
al- manath ( menentukan muara hokum dengan menunjukkan nilai kesesuaian(
munasabah) antara unsure tersebut dengan hokum dalam kaca mata syara’)
v Tahqiq
al- manath al- khash ( aplikasi muara hokum dalam permasalahan particular).
1.
Obyek dari tahqiq al- manath adalah macam
( na’u) bukan individu.
2.
Obyek perindividu
a.
Penalaran dalam penentuan muara hokum
melihat bahwa hokum tersebut berlaku untuk semua manusia.
b.
Penalaran yang lebih spesifik.
Ijtihad dalam
bahasa Arab berasal dari kata jahada yang artinya bersunggung-sungguh
atau mencurahkan segala daya dalam berusaha (Othman Ishak, 1980:1).
Secara
terminologis, ulama ushul mendefinisikan ijtihad sebagai mencurahkan
kesanggupan dalam mengeluarkan hukum syara’ yang bersifat ‘amaliyah dari
dalil-dalilnya yang terperinci baik dalam Al-Quran maupun Sunnah (Khallaf,
1978: 216).
Dalam hubungannya dalam hukum,
ijtihad adalah usaha atau ikhtiar yang sungguh-sungguh dengan menggunakan
segenap kemampuan yang ada, yang dilakukan oleh orang (ahli hukum) yang
memenuhi syarat untuk merumuskan garis hukum yang belum jelas atau tidak ada
ketentuannya di dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah (Mohammad Daud Ali,
2011:116). Metode dalam melakukan ijtihad, antara lain:
1.
Qiyâs
Qiyas
= reasoning by analogy, yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap
sesuatu hal yang belum diterangkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah, dengan
dianalogikan kepada hukum sesuatu yang sudah diterangkan hukumnya oleh
al-Qur’an / as-Sunnah, karena ada sebab yang sama
Secara
etimologis, qiyas berarti mengukur, membandingkan sesuatu dengan yang
seumpama. Sedangkan secara terminologis, ahli ushul fiqh mendefinisikan qiyas
sebagai mempersamakan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nash-nya
lantaran ada persamaan ‘illat hukumnya dari dua peristiwa itu
(Khallaf, 1978: 52).
Fungsi qiyas
adalah untuk menemukan sebab atau ‘illat hukum yang diwahyukan
untuk dikembangkan ke dalam kasus yang serupa. Dengan kata lain Qiyas artinya
menggabungkan atau menyamakan artinya dalam menetapkan hukum bagi suatu perkara
yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalam
sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga
dihukumi sama.
Beberapa definisi qiyâs
(analogi)
- Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan di antara keduanya.
- Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan di antaranya.
- Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam [Al-Qur'an] atau [Hadist] dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).
Unsur-unsur yang harus ada
(rukun) pada qiyas, yaitu:
1. Maqis ‘alaih (tempat
meng-qiyas-kan sesuatu kepadanya) atau sering disebut ashl (sesuatu
yang dihubungkan kepadanya sesuatu yang lain).
2. Maqis (sesuatu yang
akan di-qiyas-kan), atau sering disebut furu’ (sesuatu yang
akan disamakan hukumnya dengan ashl.
3. Hukum ashl, yaitu
hukum yang ada pada ashl yang ditetapkan berdasarkan nash, dan
hukum ini juga yang akan ditetapkan pada furu’.
4. Illat, yaitu sifat
yang menjadi dasar ditetapkannya hukum. Jika illat yang ada pada ashl
dan furu’ sama, maka hukum keduanya sama.
2.
Istihsan
Istihsan menurut bahasa adalah menganggap baik
sesuatu. Sedangkan menurut istilah yaitu beralihnya pemikiran seorang mujtahid
dari tuntutan qias yang nyata kepada qias yang samar atau dari hokum umum
kepada perkecualian karena ada mashlahat yang memenangkan perpndaha itu. Metode
ni erat kaitannya dengan maqashid al-syari’ah.
3. Al-Mashlahat
Al-Mursalat
Sebagaimana halnya metode ijtihad lainnya
al-mashlahat al-mursalat juga merupakan metode penetapan hokum yang kasusnya
tidak diatur secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan hadits. Hanya saja metode ini
lebih menekankan pada aspek mashlahat secara langsung. Sehubungan dengan metode
ini dalam ilmu ushul fiqih dikenal ada tiga macam mashlahat yaitu
mashlahat mu’tabara yaitu mashlahat yang diungkapkan secara langsung baik dalam
Al-Qur’an ataupun hadits. Maslahat mulghat yaitu maslahat yang bertentangan
dengan ketentuan yang ermaktub dalam kedua sumber hukum islam. Yang terakhir
maslahat mursalat yaitu maslahat yang tidak ditetapkan oleh kedua sumber hukum
islam tersebut.
B. HUBUNGAN MAQASHID ASY-SYAR’IYYAH
DENGAN METODE IJTIHAD LAINNYA
Sebagaimana dijelaskan diatas pada dasarnya
tujuan utama disyari’atkan hukum adalah untuk memelihara kemaslahatan dan
sekaligus menghindari kemafsadatan baik di dunia mamupun di akhirat. Segala
macam maslah hukum baik yang secara khusus diatur dalam Al-Qur’an dan Hadits
maupun yang dihasilkan oleh ijtihad haruslah bertitik tolak pada tujuan
tersebut.
Ijtihad merupakan pencurahan kemampuan seorang
mujtahid dalam rangka memperoleh hukum-hukum syar’i. ijtihad ini biasa
digunakan oleh ahli ushul fiqih untuk mencari kemaslahatan suatu masalah.
Berbagai macam istilah telah digunakan oleh ahli ushul fiqih untuk menyebut
metode penemuan hukum. Namun pada dasarnya semua metode tersebut bermuara pada
upaya penemuan maslahat dan menjadikannya sebagai alat untuk menetapkan hukum
yang permasalahannya tidak disebutkan dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Maka atas
dasar inilah maka dapat dikatakan bahwa setip metode penetapan hokum yang
dipakai oleh para ahli ushul fiqih bersumber dari Maqashid Al-Syari’ah.
1. Qiyas
Dalam ilmu fiqih qiyas pada umumnya dirumuskan
sebagai kiat untuk menetapkan hukum yang kasusnya tidak terdapat dalam nash
dengan cara menyamakan denan kasus yang terdapat dalam nash, disebabkan
persamaat illat hukum. Berdasarkan rumusan ini maka dalam menggunakan metode
qiyas, da metode ini terdapat empat unsur yaitu ‘ashl, far’u, hukmu al-‘ashl,
dan illat. Dari keempat unsur itu unsur yang terakhir yaitu illat, sangat
penting dan sangat menentukan. Ada atau tidak adanya suatu hokum dalam kasus
baru sangat tergantung pada ada atau tidak adanya illat pada kasus
tersebut.
Berbicara tentang illat perlu ditelusuri
pengertiannya dalam perbedaan serta hubungan dengan hikmat. Dalam ilmu ushul
fiqih illat dirumuskan sebagai suatu sifat tertentu yang jelas dapat diketahui
secara obyektif ( zhahir ), dapat diketahui dengan jelas dan ada tolak ukurnya
dan sesuai dengan ketentuan hukum yang keberadaannya merupakan penentu adanya
hukum. Sedangkat hikmat adalah yang menjadi tujuan atau maksud disyari’atkan
hukum dalam wujud kemasalahatan bagi manusia. Jadi perbedaan antara keduanya
terletak pada peranannya dalam menentukan ada atau tidak adanya hukum. Illat
merupakan tujuan yang dekat dan dapat dijadikan dasar penetapan hokum.
Sedangkan hikmat merupakan tujuan yang jauh dan tidak dapat dijadikan dasar
penetapan hokum.
Adapun contoh yang sering digunakan oleh ahli
ushul fiqih adalah mengenai shalat qashar. Untuk menetapkan boleh atau tidaknya
shalalt qashar telah ditetapkan bahwa berpergian merupakan illat dibolehkannya
shalat qashar. Sedangkat kesulitannya merupakat hikmat dibolehkannya shalat
tersebut. Jadi boleh atau tidaknya shalat qashar tergantung pada ada atau tidak
adanya illat, yaitu berpergian sebab berpergian dianggap sebagai indicator
adanya kesulitan. Sedangkan dalam bidang mu’amalah biasanya dikemukakan
tentannghak syufa’at yait hak pembelian bagi seseorang yang berserikat dengan
penjual dalam sebidang anah atau tempat tinggal. Dalam hal ini persekutuan
merupakan illat adanya hak syufa’at. Sedangkan kmatnya adalah untuk menghindari
kesulitan yang timbul disebabkan masuknya orang lain yang bykan
sekutunya.dengan demikian persekutuan dijadikan adanya hak syufa’at. Karena
dasumsikan bahwa karena masuknya unsure lalin daam persekutuan itu akan terjadi
kesulitan. Perlu ditambahkan bahwa meskipun contoh diatas mewakili dua aspek
ilmu fiqih, ibadah dan mu’amalah namun perlu dibedakan antara illat dalam
bidang ibadah dan illa dalam bidang mu’amalah. Dalam bidang bidang ibadah illat
tidak boleh lebih dari sekedar manfaat tidak ada pengaruhnya terhadap istinbath
hokum. Dengan kata lain illat dalam bidang ibadah tidak efektif. Karena itu pada
dasarnya qiyas dalam bidang ibadah tidak dapat diberlakukan. Sedangkan dala
bidang mu’amalah illat berlaku efektif dalm menetapkan hokum. Hal ini
didasarkan pada satu teor, bahwa pada dasarnya aspek mu’amalah dapat diketahui
hikmat dan rahasianya, sedangkan aspek ibadah tidak demikian.
Berdasarkan pernyataan diatas dapat dipahami
bahwa dalam qiyas penemuan illat dari hikmat sangat menentukan keberhasilan
mujtahid dalam menetapkan hokum. Dari sinilah dapat dilihat betapa eratnya
hubungan antara mtode qiyas dengan metode Maqashi Al-Syari’ah.para ahli ushu
fiqih mengolaborasikan keterkaitan antara keduanya. Menurut mereka hikmat baru
dapat dijadikan illat setelah diketahui dan ditelusuri maksud disyari’atkan
hokum itu. Dalam menentukan maksud dan tujuan hokum itu tidak dapat diabaikan
pemahaman tentang mashlahat dan mafsadat yang merupakat inti dari kajian
maqashid al-syari’ah.
2. Istihsan
Istihsan menurut bahasa adalah menganggap baik
sesuatu. Sedangkan menurut istilah yaitu beralihnya pemikiran seorang mujtahid
dari tuntutan qias yang nyata kepada qias yang samar atau dari hokum umum
kepada perkecualian karena ada mashlahat yang memenangkan perpndaha itu. Metode
ni erat kaitannya dengan maqashid al-syari’ah. Adapun beberapa macam istihsan
yang langsung aaupun tidak langsung berkaitan dengan teori maqashid al-syari’ah
yaitu :
a.
Istihsan bi al-Nash yaitu istihsan berdasarkan pada nash lain yang menghendaki
tidak berlakunya dalil yang pertama. Dalil yang pertama bersifat khusus
sedangkan dalil yang kedua bersifat umum. Contoh jual-beli salam, pada dasarnya
jual beli salam itu dilarang sebagaimana hadits nabi yang menjelaskan bahwa “janganlah
kamu menjual sesuatu yang bukan milikmu” akan tetapi nabi sendiri yang
mengecualikan ketentuan itu untuk jual beli salam. Adapun hikmat dibenarkan
jual-beli tersebut adalah untuk membantu pedagang yang idak punya modal yang
cukup sehingga ia memperoleh modal tambahan bagi calaon pembeli. Hal ini pada
umumnya untuk memelihara harta pedagang tersebut sekaligus mengembangkannya.
Lebih dari itu akad ini mencerminkan kemudahan bermu’amalah. Memelihara harta
dalam berbagai peringkat kebutuhannya termasuk ruang lingkup maqashid
al-syari’ah.
b. Istihsan bi
al-mashlahat yaitu istihsan yang didasarkan pada mashlahat dalam berbagai
peringkatnya padahal qiyas sendiri tidak menghendaki demikian. Adakalanya
mashlahat itu masuk peringkat dharuriyat dan adakalanya masuk hajiyat.
Sebenarnya berbicara tentang istihsan maka sudah dipastikan bahwa tujuannya
adalah untuk memperoleh kemashlahatan. Hanya saja kemashlahatan yang dimaksud
adakalanya ditentukan oeh nash dan adakalanya tidak. Dalam hal yang disebut
terakhir maka peranan mujtahid sangat penting untuk mengidentifikasi jenis
kemaslahatan sekaligus memperhatikan peringkat kemaslahatan.
3. Al-Mashlahat
Al-Mursalat
Sebagaimana halnya metode ijtihad lainnya
al-mashlahat al-mursalat juga merupakan metode penetapan hokum yang kasusnya
tidak diatur secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan hadits. Hanya saja metode ini
lebih menekankan pada aspek mashlahat secara langsung. Sehubungan dengan metode
ini dalam ilmu ushul fiqih dikenal ada tiga macam mashlahat yaitu
mashlahat mu’tabara yaitu mashlahat yang diungkapkan secara langsung baik dalam
Al-Qur’an ataupun hadits. Maslahat mulghat yaitu maslahat yang bertentangan
dengan ketentuan yang ermaktub dalam kedua sumber hukum islam. Yang terakhir
maslahat mursalat yaitu maslahat yang tidak ditetapkan oleh kedua sumber hukum
islam tersebut.
Pada dasarnya mayoritas ahi ushul fiqih menerima
metode maslahat mursalat. Untuk menggunkan metode tersebut mereka memberikan
beberapa syarat. Adapun beberapa syarat agar maslahat dapat dijadikan dasar
hokum adalah sbagai berikut :
a.
Kemaslahatan itu termasuk dalam kategori dharuriyyat. Artinya bahwa untuk
menetapkan suatu kemaslahatan tingkat keperluannya hrus diperhatikan. Apakah
sampai mengancam lima unsure pokok maslahat atau belm sampai pada batas
tersebut,.
b. Kemaslahatan
itu bersifat qath’i. Artinya yang dimaksud dengan maslahat tersebut benar-benar
telah diyakini sebagai maslahat, tidak didasarkan pada dugaan semata-mata.
c.
Kemaslahatan itu bersifat kulli. Artinya bahwa kemaslahatan itu berlaku secara
umum dan kolektif tidak bersifat individual.
Berdasarkan persyaratan diatas maslahat yang
dikemukakan oleh para ahli ushul fiqih dapat dipahami bahwa betapa eratnya
hubungan antara metode mashlahat mursalat dengan maqashid al-syari’ah. Ungkapan
Imam Malik bahwa maslahat itu harus sesuai dengan tujuan disyariatkan hokum dan
diarahkan pada upaya menghilangkan kesulitan.[16]
BAB III
PENUTUP
Tidak
diragukan lagi, bahwa maqasid al-syariah adalah akar dalam perintah tekstual
Al-qur'an dan as-Sunnah, tetapi mereka melihat secara utama pada philosophi
umum dan tujuan perintah ini sering melebihi bidang keahlian (the speciality)
dari teks itu.
Fokusnya
tidak banyak pada kata-kata dan kalimat dari nash itu sebagaimana dalam tujuan
dan maksud yang disarankan dan ditegakan. Dengan perbandingan terhadap teori
yang sah dari sumber-sumber, ushul fiqh, maqasid al-syariah tidak dibebaskan
dengan dasar-dasar metodologi dan pemahaman para literalis dari suatu nash.
Karena
maqasid al-syariah terintegrasikan derajat versatility (kepandaian yang
beraneka ragam) dan ke-komprehensif–an kedalam pemahaman syari'ah yang itu,
dalam banyak cara, unik dan muncul diatas permukaan seiring dengan pergantian
waktu dan keadan lingkungan.
Pada saat,
ketika beberapa doktrin penting ushul fiqh seperti ijma (general consensus),
qiyas (analogical reason) dan bahkan ijtihad dibebani dengan kondisi-kondisi
yang sulit, kondisi yang mungkin berdiri dengan sebuah ukuran ketidakharmonisan
dengan iklim negara-politik yang berlaku pada negara-negara Muslim sekarang ini
dan akses yang tepat sekali untuk syari’ah.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad
at- Thahir Ibn ‘Asyur, Maqashid as- Syar’iyyah al- Islamiyah, Yordania, dar an
Nafa is, cet.ke -2,2001,hal.278
Muhammad
Ibn Muhammad al- Ghazaly, al-mustashfa, Dar al- kutub al- Ilmiyyah,
Beirut,2000,hal.174
Saif
ad-Din Abi al- Husain ‘Ali Ibn Muhammad al- Amidy, al- Ihkam
Fi Ushul al- Ahkam, Dar al- Kutub, vol III,hal.411
Wahbah
az- Zuhaily, Ushul al- Fiqh al- Islamy, Damaskus, Dar al- Fikr, cet
XIV,2006,Vol II, hal.293
Ibid,hal.307
Ibid
, hal.337
‘Izz
ad-Din Abd al- Aziz Ibn Abd as-salam as- Sulamu,op.cit.,hal 11
Muhammad
at- Thahir Ibn ‘Asyur,op.cit.,hal.190-194
Ahmad Qorib, Ushul Fikih 2, (Jakarta:
PT. Nimas Multima, 1997), Cet, II), h. 170.
Dikutip oleh Asafri Jaya dalam kitab lisan al-‘Arab Ibnu Mansur
al-Afriqi, (Bairut: Dar al-Sadr, t.th),VIII, h. 175
Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa:
Ahsin Muhammad, ( Bandung: Pustaka, 1994), h. 140
Abu ishaq Ibrahim ibn Musa al- Lakhmi al-
ghurnathy as-Syatiby,op.cit.,hal.469-482
Fiqh
Holistik. KASTURI ( Kodifikasi Santri Lirboyo 2008) . hal : 68
Asafri Jaya, Bakri , Konsep Maqashid
Syari’ah menurut al- Syatibi, (Jakarta: P.T. Raja grafindo Persada, 1996).
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syai’ah
Menurut al-Syatibi, ……h,.129
Fathur rahman Djamil, Filsafat Hukum Islam,
( Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997 ), hal. 143
SUMBER
umum dari : KASTURI ( Kodifikasi Santri Lirboyo 2008) . BUAH PIKIRAN
UNTUK UMAT Telaah Fiqh Holistik.cet I,Sya’ban 1429 H.
[1] Muhammad at- Thahir Ibn ‘Asyur, Maqashid as- Syar’iyyah
al- Islamiyah, Yordania, dar an Nafa is, cet.ke -2,2001,hal.278
[2] Muhammad Ibn Muhammad al- Ghazaly,
al-mustashfa, Dar al- kutub al- Ilmiyyah, Beirut,2000,hal.174
[3] Saif ad-Din Abi al- Husain ‘Ali Ibn Muhammad
al- Amidy, al- Ihkam Fi Ushul al- Ahkam, Dar al- Kutub, vol III,hal.411
[4] Wahbah az- Zuhaily, Ushul al- Fiqh al- Islamy,
Damaskus, Dar al- Fikr, cet XIV,2006,Vol II, hal.293
[6] Ibid , hal.337
[7] ‘Izz ad-Din Abd al- Aziz Ibn Abd as-salam as- Sulamu,op.cit.,hal 11
[8] Muhammad at- Thahir Ibn ‘Asyur,op.cit.,hal.190-194
[10]
Dikutip oleh Asafri Jaya dalam kitab lisan al-‘Arab
Ibnu Mansur al-Afriqi, (Bairut: Dar al-Sadr, t.th),VIII, h. 175
[11] Fazlur
Rahman, Islam, alih bahasa: Ahsin Muhammad, ( Bandung: Pustaka, 1994),
h. 140
[13] Fiqh
Holistik. KASTURI ( Kodifikasi Santri Lirboyo 2008) . hal : 68
[14] Asafri Jaya, Bakri , Konsep Maqashid Syari’ah menurut al-
Syatibi, (Jakarta: P.T. Raja grafindo Persada, 1996).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar